Millennial Farms with Technology 4.0 : Realize Increased Shrimp Production.
7/06/2021 02:27:00 AM
Mengukur kebijakan perikanan terukur.
nusantaraberdaya.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 mengenai Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di 11 WPP-NRI (wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia) ditetapkan 29 Maret 2022. Estimasi potensi stok ikan lestari turun 0,53 juta ton dari 12,54 juta ton menjadi 12,01 juta ton dengan variasi JTB yang lebih rendah berkisar 64%-76% kecuali WPP 718 tetap 80% dari estimasi potensi stok ikan.
Begitu pula dengan status tingkat pemanfaatannya juga relatif memburuk hanya 10,1% yang masih moderate (upaya penangkapan dapat ditambah); 89,9% sudah fully exploited dan over-exploited (upaya (upaya penangkapan dipertahankan dengan monitor ketat dan ada yang harus dikurangi). Sedangkan JTB berdasarkan Kepmen-KP 50/2017 masing-masing WPP 80% dari estimasi potensi stok ikan di seluruh WPP. Sebelumnya berbagai pihak mengkritisi angka kuota penangkapan ikan di setiap zonasi penangkapan ikan terukur, karena sudah usang serta tidak mempertimbangkan status tingkat pemanfaatan.
Ada
pula yang menyoroti masalah akan tersisihnya nelayan lokal jika kapal asing
masuk, dan dikhawatirkan mengeruk kekayaan sumber perikanan nasional sehingga
mengancam keberlanjutan sumber daya ikan, karena status pemanfaatan kelompok
jenis ikan tertentu di WPP tertentu yang sudah fully exploited dan over exploited.
Di lain pihak KKP berusaha meyakinkan bahwa penangkapan ikan terukur justru
terkendali berdasarkan zona tertentu. Hal itu karena berdasarkan output control
kuota penangkapan ikan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya, dengan memberikan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan
keadilan dan kesejahteraan nelayan. KKP membagi wilayah penangkapan dalam empat
zona fishing industry dengan kuota penangkapan ikan yang ditawarkan untuk
industri jumlahnya 4,89 juta ton kemudian direvisi menjadi 5,99 juta ton.
Polemik kebijakan penangkapan ikan terukur khususnya sistem kontrak ini tentu sangat menarik dianalisis mendalam dengan kejernihan berpikir yang objektif. Sebelum menentukan kuota penangkapan sebaiknya dihitung terlebih dahulu berapa existing capacity jumlah GT (gross tonnage) kapal penangkap ikan per alat tangkap yang beroperasi di wilayah ZEEI, sehingga ada perbandingan berapa kali lipat kapasitas penangkapan ikan yang akan ditingkatkan.
Kapasitas penangkapan ikan izin pusat (ukuran kapal di atas 30GT) selama 3 tahun terakhir berkisar antara 400.000-550.000 GT. Di sisi lain target kuota penangkapan ikan terukur jumlahnya 4,89 juta sampai 5,99 juta ton. Jika mengacu Kepmen KP Nomor 98/2021 produktivitas tertinggi 1,72 dan yang terendah 0,51. Dengan asumsi rata-rata produktivitas sekitar 1 untuk memenuhi kuota 4,89 juta saja jumlah GT kapasitas penangkapan ikan izin pusat harus ditingkatkan lebih dari 10 kali lipat (kuota dibagi jumlah GT dikali produktivitas).
WPP 718 yang akan dijadikan percontohan sistem kontrak penangkapan ikan terukur merupakan wilayah penangkapan ikan paling favorit dan terpadat jumlah kapalnya, berkisar 1.600-1.700 kapal atau 30% dari keseluruhan kapal izin pusat. WPP 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, Laut Timor bagian timur. WPP 718 termasuk dalam wilayah zona 03 di dalamnya juga mencakup WPP 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau.
Dalam
Keputusan Menteri KP Nomor 19/2022, WPP 718 merupakan satu-satunya WPP yang selama lima
tahun lebih tidak berubah sama sekali, angka estimasi potensi, JTB, dan status
pemanfaatannya semuanya tetap sama, sehingga validitas hasil kajiannya sangat
meragukan. Bahkan sangat tidak masuk akal tak ada perubahan sama sekali dalam
kurun waktu yang cukup lama. Namun karena tidak ada hasil kajian lain, mau
tidak mau terpaksa digunakan sebagai alat analisis mengukur kebijakan
penangkapan ikan terukur.
Kapasitas penangkapan ikan dihitung berdasarkan jumlah tonase kotor (GT=gross
tonnage) izin pusat di zona 03 sekitar 193.192 GT (data perizinan KKP, 15 April
2021), sementara target kuota penangkapan ikan terukur sebanyak 2.676.999 ton.
Jika dibandingkan, jumlah GT akan ditingkatkan lebih dari 13 kali lipat.
Ironisnya di WPP 718 status tingkat pemanfaatan semua kelompok jenis ikan
semuanya berwarna kuning (fully exploited) dan berwarna merah (over-exploited).
Berdasarkan
data 3 tahun terakhir kapasitas penangkapan ikan di WPP 718 berkisar antara
160.000-180.000 GT, dan diperkirakan jenis ikan tertentu sudah mulai depleted
yang mengancam stok ikan lestari (maximum sustainable yield). Penangkapan yang
berlebih tentunya akan membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah
ini.
Bahkan dalam konsultasi publik juga diakui bahwa hasil tangkapan cumi di WPP
718 dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Jika kapasitas penangkapan
cumi ditingkatkan 2 kali lipat saja jumlah tonase kotornya, keberlanjutan
sumber daya cumi di WPP 718 hanya tinggal kenangan. Cumi akan musnah sebelum
terpenuhinya kuota penangkapan ikan terukur.
Masalah yang sama juga terjadi di zona konsesi lainnya, jika kapasitas
penangkapan ikan dibandingkan dengan kuota penangkapan ikan memiliki
kesenjangannya sangat tinggi. Bahkan di zona 02 yang meliputi WPP 716 dan 717
untuk mencapai target kuota penangkapan ikan 882.675 ton, maka jumlah GT
kapasitas penangkapan ikan izin pusat yang saat ini di zona 02 (13.707GT) harus
ditingkatkan lebih dari 64 kali lipat. Sesuatu hal yang merupakan target
peningkatan tertinggi di antara semua zona penangkapan ikan terukur.
Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang sangat signifikan sangat riskan dan
mengancam keberlanjutan. Kuota penangkapan ikan sebaiknya dikaji ulang dan
jangan dikaitkan dengan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan
Rp12 triliun. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan harus bertahap dan
diantisipasi dampak mitigasinya.
Kementerian
harus mempersiapkan SDM yang handal dan paradoksnya pelaku usaha penangkapan
ikan domestik saat ini menghadapi kesulitan karena keterbatasan jumlah nahkoda
handal dan ABK (anak buah kapal) yang tersertifikasi. Tidak mudah memperoleh
SDM yang handal di sektor usaha penangkapan ikan, karena tidak semua orang
dapat bekerja keras dan bertahan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan dengan
tingkat risiko tinggi mengarungi ombak lautan. Meningkatkan jumlah ABK yang
tersertifikasi tidak semudah membalik telapak tangan apalagi di WPP yang minim
jumlah sumber daya manusianya.
Penangkapan ikan terukur yang berdasarkan angka statis JTB semata akan sangat
berbahaya karena jumlah sumber daya ikan sangat dinamis, ikan hidup bermigrasi
tentu berbeda dengan pertambangan. Jika pengelolaan sumber daya ikan berpedoman
pada kata kunci terukur maka seharusnya lebih hati-hati (prudent) dan mengacu
data yang valid.
Tujuan meningkatkan kapasitas penangkapan ikan nasional tentu harus didukung
semua pihak, agar pemanfaatan sumber daya ikan optimal untuk kemajuan sektor
perikanan dan kesejahteraan masyarakat. Namun peningkatan kapasitas penangkapan
ikan sebaiknya bertahap dan target kuota harus realistis, mengacu pada
kapasitas penangkapan ikan saat ini. Penangkapan ikan terukur sistem kontrak
dengan meningkatkan kuota penangkapan ikan dengan peningkatan kapasitas jumlah
GT yang signifikan, patut dikaji ulang karena akan sangat membahayakan
keberlanjutan sumber daya ikan.
Penulis :
Hendra
Sugandhi, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan APINDO, dalam rubrik Opini Media Indonesia (mediaindonesia.com)
0 Komentar