Neoliberalisme Perikanan Terukur

Neoliberalisme Perikanan Terukur

nusantaraberdaya.com - Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah, termasuk di dalamnya pembangunan di sektor perikanan dan kelautan, harus berlandaskan konstitusi. Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan bahwa sumber daya perikanan di wilayah perairan laut Indonesia harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta memperhatikan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan regulasi baru, yaitu perikanan terukur sebagai kebijakan nasional. Melalui kebijakan perikanan terukur, pemerintah membuka keran investasi asing di bidang penangkapan ikan. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan komitmen pemerintah membangun kemandirian ekonomi di sektor perikanan sebagai salah satu sektor ekonomi yang strategis.

Pasalnya, gagasan perikanan terukur ini berorientasi mementingkan investasi luar negeri skala besar daripada investasi perikanan domestik. Pemerintah akan memberi kesempatan pada industri perikanan dari negara lain untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP), di antaranya WPP 714, 715, dan 718 yang dikenal seksi sebab memiliki potensi sangat besar, sekitar 4 juta ton melalui sistem kontrak.

Penerapan sistem kontrak ini sangat mengkhawatirkan sebab belum hilang trauma Indonesia terhadap berbagai pelanggaran hukum kapal-kapal ikan eks asing yang beroperasi di wilayah perairan laut Papua dan Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Bali, dan Kepulauan Riau, seperti transshipment dan perdagangan ikan di tengah laut, penonaktifan Vessel Monitoring System (VMS), penggunaan tenaga kerja asing, perdagangan orang dan perbudakan, serta juga peredaran narkoba.

Kebijakan perikanan terukur, apabila diterapkan, berpotensi mengancam stok SDI

Kebijakan perikanan terukur, apabila diterapkan, berpotensi mengancam stok sumber daya ikan yang kondisinya mulai membaik, juga memarjinalkan peran usaha perikanan skala mikro kecil menengah dan koperasi. Selain itu, berbagai potensi dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan perikanan terukur sangat merisaukan.

Gagasan perikanan terukur juga memiliki kelemahan, yaitu tidak jelas indikator keterukuran dalam implementasinya, serta tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pelabuhan perikanan. Fasilitas dan sistem pengelolaan pelabuhan perikanan belum memenuhi standar internasional sesuai dengan kebutuhan industri penangkapan ikan modern.


 

Pengaturan ”output”

Perikanan terukur sejatinya merupakan pengaturan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan hasil pengawasan jumlah tangkapan ikan yang diperoleh. Dasar pengaturan yang akan diterapkan pada perikanan terukur tidak memiliki basis argumentasi yang kuat secara empiris, dan juga tanpa didukung hasil kajian ilmiah yang kredibel, yang memperhatikan pendapat masyarakat dari beragam kalangan, termasuk organisasi kemasyarakatan yang kritis. Selain itu, kehadiran gagasan perikanan terukur ini mengabaikan berbagai fakta pelanggaran hukum di laut oleh kapal-kapal perikanan.

Dalam pengaturan penangkapan ikan tidak cukup hanya memperhatikan aspek teknis ekonomi sumber daya, yaitu faktor pengawasan input dan ouput produksi, tetapi juga sangat penting memperhatikan aspek ekonomi dan politik. Banyak kasus kegagalan pembangunan perikanan disebabkan para teknokrat abai dan tidak memandang pengelolaan sumber daya perikanan sebagai kepentingan ekonomi dan politik.

Pengaturan Penangkapan ikan juga harus memperhatikan aspek ekonomi dan politik

Dalam aktivitas pengawasan, Indonesia memiliki pengalaman yang kurang baik terkait dengan masalah akuntabilitas kapal-kapal perikanan dalam melaporkan hasil tangkapannya, seperti manipulasi data logbook, juga sikap aparat yang permisif karena kuatnya fenomena rent seeking dan perilaku korup di sektor perikanan tangkap. Situasi ini yang mengakibatkan Indonesia masih menghadapi persoalan mengenai kredibilitas data karena ketidakakuratan pelaporan produksi ikan.

Problem kredibilitas data produksi ini disebabkan oleh elemen kunci, yaitu keberadaan pelabuhan perikanan belum dibenahi secara serius sebagai pusat pendaratan ikan, pengendalian serta pengawasan kapal-kapal perikanan. Data produksi ikan yang dilaporkan tidak transparan dan akuntabel sehingga kurang dipercaya. Hal ini menyangkut masalah moral hazard yang seharusnya diatasi secara serius oleh pemerintah.

Privatisasi dan marketisasi

Perikanan terukur adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kontribusi hasil perikanan laut pada pendapatan nasional. Upaya ini dilatarbelakangi oleh pandangan neoliberalisme yang menekankan prinsip privatisasi dan marketisasi dalam tata kelola perikanan yang diperkuat melalui serangkaian peraturan perundangan-undangan.

Neoliberalisme meyakini bahwa krisis ekologi laut yang diakibatkan oleh eksploitasi berlebih dapat diatasi dengan pendekatan mekanisme pasar melalui insentif berupa hak akses dan kepemilikan sumber daya ikan untuk mengejar keuntungan sekaligus mencapai tujuan konservasi dan efisiensi ekonomi.

Privatisasi dan marketisasi

Pandangan neoliberalisme ini mendominasi pemikiran di kalangan teknokrat perikanan sejak Orde Baru hingga era reformasi. Desain pembangunan perikanan yang dilandasi oleh pemikiran neoliberalisme ini telah gagal dalam membangun industri perikanan nasional yang mandiri dan juga belum mampu menekan kebocoran penerimaan negara.

Penerimaan negara dari hasil perikanan laut hanya sekitar Rp 857 miliar, tak sebanding dengan nilai produksi ikan nasional sekitar Rp 137 triliun pada 2020. Indonesia menderita kerugian sekitar Rp 15,44 triliun per tahun karena transshipment produksi ikan yang tidak dilaporkan.

Banyaknya kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat masalah laten menyangkut akuntabilitas dan integritas aktor-aktor yang berkepentingan di sektor perikanan tangkap, mengakibatkan sejak Orde Baru hingga kini Indonesia belum mampu membangun industri perikanan nasional yang sejajar dengan industri perikanan kelas dunia, seperti Thai Union, Maruha Nichiro, Suisan Kaihsa, Dongwon Enterprise, Mowi, Mitsubishi Corporation, OUG Holding, Austevoll, dan Trident Seafoods.

Indonesia sebagai negara produsen ikan nomor dua di dunia tak mendapat manfaat yang berarti dari sisi penerimaan negara, tetapi sebaliknya tanpa disadari menderita kerugian yang sangat besar akibat eksploitasi sumber daya ikan yang berlebih di berbagai WPP.

Mayoritas nelayan Indonesia masih jauh mencapai cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan. Meskipun indeks nilai tukar nelayan yang diagungkan sebagai indikator kesejahteraan membaik, mayoritas perikanan tradisional masih terpinggirkan dan kalah bersaing dengan perikanan modern. Demikian juga kondisi BUMN perikanan dan koperasi perikanan kondisinya juga belum membaik sebagaimana yang diharapkan hingga saat ini.

Tragedi komoditas ikan

Mempertahankan gagasan perikanan terukur dan menetapkannya dalam peraturan pemerintah akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menerapkan kebijakan pembangunan perikanan yang otoriter. Artinya, industri perikanan tangkap domestik akan dipaksa masuk ke dalam proses bekerjanya kapitalisme perikanan global.

Neoliberalisme pembangunan perikanan memang menjanjikan inter konektivitas pasar, persaingan bebas, dan juga pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tidak akan berkelanjutan. Pengalaman di beberapa negara, seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, menunjukkan bahwa neoliberalisme akan memperparah ketimpangan sosial, memarjinalkan perikanan tradisional, dan juga gagal melindungi nelayan-nelayan kecil.

Tragedi komoditas ikan

Selain itu, neoliberalisme akan mempercepat transformasi budaya, politik, ekonomi, dan teknologi kepada masyarakat dalam berproduksi mengikuti sistem kapitalisme perikanan dunia. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan tragedi komoditas di Indonesia yang mempercepat terjadi deplesi sumber daya ikan serta kerusakan ekosistem.

Bekerjanya kapitalisme perikanan juga akan menciptakan penguasaan pasar yang timpang, dan ketergantungan yang membuat masyarakat terlena oleh tingginya permintaan komoditas hasil perikanan di pasar dunia, serta lalai dan abai membangun kemandirian sehingga nilai tambah hasil perikanan sebagian besar mengalir dan dinikmati oleh negara-negara maju.

Demikian juga problem kerusakan ekologi yang sejatinya diakibatkan oleh kuatnya permintaan pasar untuk kebutuhan bahan baku industri dan juga konsumsi masyarakat di negara maju akan ditanggung oleh masyarakat perikanan Indonesia. Inilah yang akan melanggengkan ketidakadilan melalui siklus ketergantungan yang tercipta oleh kekuatan kapitalisme melalui perikanan terukur.

Perikanan berdikari

Membangun industri perikanan nasional yang tangguh dan mendunia tidak bisa dengan perikanan terukur sebagai jalan pintas. Pengalaman negara-negara yang pembangunan perikanannya relatif maju menunjukkan bahwa kemunculan industri perikanan transnasional dari negara di kawasan Asia, seperti China, Jepang, dan Thailand, membutuhkan waktu yang panjang. Dimulai dengan kuatnya peran negara melalui kebijakan investasi yang memprioritaskan kepentingan dalam negeri serta dukungan berbagai kebijakan afirmatif untuk membangun kemandirian ekonomi.

Nelayan berdikari

Hal tersebut yang seharusnya menjadi agenda pemerintah, yaitu memperkuat dan memprioritaskan pasar dan juga investasi domestik, serta memberdayakan kelembagaan ekonomi perikanan nasional, yaitu BUMN, UMKM, dan juga swasta.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan lestari sekitar 12 juta ton per tahun dan menyandang predikat sebagai negara produsen ikan nomor dua di dunia setelah China.

Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia tentu harus dipandang sebagai kekuatan yang digunakan bukan untuk memfasilitasi kepentingan kapitalisme perikanan global, tetapi memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengubah haluan pembangunan perikanan nasional menuju pada pembangunan perikanan yang berdikari.

Semangat pembangunan perikanan berdikari sebenarnya telah dirintis oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan komitmen utamanya menegakkan kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Konsistensi pemerintah perlu dijaga agar tak mudah tergoda mengikuti gelombang neoliberalisasi yang membuka pintu neoimperialisme di sektor perikanan.

Penutup

Ada catatan penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan perikanan berdikari agar Indonesia tak masuk dalam jebakan kapitalisme perikanan global, yaitu, pertama, Indonesia sebagai produsen ikan dunia harus dapat memegang peranan sebagai pengendali atau pemain utama dalam perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional. Indonesia harus mengambil manfaat dari tren kebutuhan konsumsi ikan dunia yang akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, yaitu sekitar 10 miliar jiwa pada 2050.

Kedua, ikan mengandung nutrisi yang sangat dibutuhkan bagi manusia untuk kesehatan dan kecerdasan sehingga mendorong negara-negara didunia, terutama negara maju, berkompetisi memperebutkan sumber daya ikan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dan juga memproteksi keamanan pangan yang bersumber dari ikan untuk penduduknya. Oleh karena itu, ikan telah menjadi komoditas pangan strategis di dunia dan menjadi kekuatan pertahanan suatu negara.

Ketiga, sumber daya ikan juga harus dipandang sebagai kekuatan budaya yang meningkatkan konsumsi ikan dan menumbuhkan heritage produk-produk pangan kuliner yang inovatif dan bersejarah yang akan selalu dicari dan dikonsumsi dari generasi ke generasi. Sumber daya ikan sebagai kekuatan budaya ini yang akan menciptakan pasar domestik yang kuat, seperti di negara-negara maju, yaitu Jepang, Korea, China, Eropa, dan Amerika. (*nsb)

*) Ditulis Oleh : Thomas Nugroho, Dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (PSP) IPB University di media www.kompas.id tanggal 18 April 2022.

0 Komentar